Syafaat Seorang Sahabat
Syafaat Seorang Sahabat

Jika
ada orang dekat selain keluarga, maka ia adalah sahabat. Hampir setiap
orang, atau bahkan semua orang mengharapkan hadirnya sahabat. Yakni
teman yang setia dalam suka dan duka, menghibur di saat sedih, membantu
saat dibutuhkan dan partner yang asyik untuk merayakan sebuah
kesenangan. Bersahabat adalah tabiat, maka jika seseorang tidak
bersahabat dengan orang-orang yang taat, besar kemungkinan ia akan
bersahabat dengan ahli maksiat, karena “al arwah, junuudun mujannadah”,
seseorang cenderung bergabung dengan orang yang setipe dengannya.
Arti Seorang Sahabat
Karena
itu orang beriman memiliki pandangan lebih terkait sahabat. Tak melulu
soal akrab dan dekat. Apalah arti sahabat akrab yang mengenyam suka duka
bersama di dunia, namun nantinya menjadi musuh satu sama lain di
akhirat, sebagaimana keadaan yang dikabarkan oleh Allah dalam
firman-Nya,
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Az Zukhruf: 67)
Seorang
mukmin memandang bahwa persahabatan yang manfaat adalah sahabat yang
terikat oleh iman, pergaulan yang terjadi demi takwa yang makin menguat
dan agar lebih mudah merealisasikan taat. Inilah yang disebut dengan
persaudaraan iman, meski tak ada hubungan nasab di antara mereka. Bahkan
sejatinya, persaudaraan iman lebih manfaat dan lebih langgeng dari
persaudaraan karena hubungan nasab yang tidak dibingkai oleh iman.
Orang-orang
yang memiliki hubungan nasab, ketika di dunia saling mengasihi, saling
membela dan terjalin hubungan yang harmonis, bisa jadi di akhirat kelak
masing-masing akan saling cuek dan tidak memikirkan satu sama lain.
Mereka akan saling berlepas diri sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
“Apabila datang hari Kiamat, Allah
mengumpulkan manusia-manusia generasi awal hingga yang paling akhir,
lalu ada seruan, “Siapa yang pernah dizhalimi silakakan mendatangi orang
yang menzhalimi utuk mengambil haknya. Lalu seseornag merasa gembira
ketika masih ada hak yang belum ditunaikan oleh orang tuanya, anaknya,
istrinya mau dia menuntutnya meski sekecil apapun, hal ini sesuai dengan
firman Allah Ta’ala,
“Apabila telah ditiup sangkakala itu,
samasekali tak ada hubungan keturunan di antara mereka lagi ketika itu,
dan tidak pula akan sempat tanya bertanya.” (QS al-Mukminun 101)
Adapun
sahabat, ketika terjalin hubungan dan keakraban dalam rangka taat
kepada Allah, faidahnya bisa dirasakan hingga hari Kiamat.
BACA JUGA : Santun Tersandang, Neraka Terhalang
Jenis
amal berupa saling mencintai karena Allah sendiri memiliki keutamaan
agung. Di mana Allah akan menaungi mereka di hari yang tiada naungan
kecuali naungan-Nya, yakni di makhsyar yang sangat panas oleh terik
matahari yang didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil
saja.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ
بِجَلَالِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا
ظِلِّي
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat
kelak, “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari
ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, di mana tidak ada naungan pada
hari ini selain naungan-Ku.” (HR Muslim)
Orang yang saling
mencintai karena Allah juga menempati derajat yang tinggi di jannah.
Tidak tanggung-tanggung, para Nabi dan para syuhada’ bahkan takjub
dengan keadaan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang yang meskipun bukan
golongan para nabi, namun para nabi dan juga para syuhada takjub dengan
keadaan mereka. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapakah
mereka wahai Rasulullah, agar kami bisa mencintai mereka. Beliau
bersabda,
إِنَّ مِنْ عِباَدِ اللهِ عِباَداً لَيْسُوْا
بِأَنْبِياَءِ ، يَغْبِطهُمُ اْلأَنْبِياَءِ وَالشُّهَدَاءُ ، قِيْلَ مَنْ
هُمْ لَعَلَّناَ نُحِبُّهُمْ ؟ قاَل هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِنُوْرِ
اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلاَ انْتِسَابٍ ، وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى
مَناَبِرَ مِنْ نُوْرٍ ، لاَ يَخَافُوْنَ إِذاَ خَافَ الناَّسُ، وَلاَ
يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزِنَ الناَّسُ
“Mereka adalah orang saling
mencintai karena Allah, meski tak ada hubungan rahim maupun nasab.
Wajah-wajah mereka bercahaya, berada di mimbar-mimbar yang bercahaya,
mereka tidak takut pada saat orang-orang ketakutan dan ereka tidaklah
bersedih di saat orang-orang bersedih.” (HR Ibnu Hibban dengan sanad
yang bagus)
Syafaat di Hari Kiamat
Tidak
hanya jenis amalnya yang memiliki keutamaan, bahkan seorang teman
ataupun sahabat, sebagaimana di dunia saling menolong dalam taat, saling
cegah dalam hal maksiat, maka kelak seorang sahabat bisa memberikan
syafaat di akhirat. Karena itulah Imam Hasan al-Bashri menasehatkan,
”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka
bisa memberi syafaat (pertolongan) pada hari klamat.”
Dalam
sebuah momen, Ibnul al-Jauzi juga pernah berkata kepada para sahabat
dan murid-muridnya, ”Jika kalian kelak tidak menemukan aku di surga
bersama kalian, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan,
“Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk
mengingat Engkau.” Lalu beliau menangis, semoga Allah merahmati beliau.
Tentang
syafaat seorang sahabat ini, Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan hadits yang panjang, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam
bersabda tentang syafaat di hari kiamat,
Setelah orang-orang
mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada
di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah
untuk memperjuangkan hak saudara-saudaranya yang berada di dalam
neraka pada hari kiamat. Mereka memohon, “Wahai Rabb kami, mereka itu
(yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga
haji. Lalu dikatakanm, “Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian
kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.
Orang-orang mukmin itupun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah
dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai
lututnya.” (HR Muslim)
Jika ada pertanyaaan, tidakkah hadits ini bertentangan dengan firman Allah,
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39)
Jawabannya
adalah tidak. Karena ketika seseorang beramal dalam bentuk saling
mencintai dan bersahabat karena Allah, maka di antara hasilnya adalah ia
berhak mendapatkan syafaat dari sahabatnya.
Sahabat yang
bermanfaat bukanlah orang yang selalu membuat kita senang, bukan pula
orang yang mendukung apapun yang kita putuskan. Akan tetapi sahabat yang
baik adalah yang mau mengingatkan saat kita alpha, yang membantu kita
untuk taat kepada Pencipta, mencegah kita dari perbuatan nista, dan
bersedia tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Bayangkan,
betapa beruntungnya dan bahagianya seseorang yang memiliki banyak teman
orang-orang sholih. Yang mengingatkan untuk shalat berjamaah di masjid,
mengajari tilawah Al-Qur’an, mengajak menghadiri majelis ilmu, dan
menasehatinya dalam kebaikan.
Jika kita mendapatkan teman semisal
ini, maka pertahankanlah ia, dan janga sampai lepas dari kita.
Sebagaimana nasihat Imam asy-Syafi’I, “Jika engkau punya sahabat
membantumu untuk taat, maka peganglah erat-erat dia, jangan pernah kau
lepaskan ia. Alangkah susahnya mencari teman yang baik, dan betapa mudah
lepasnya.”
Pun demikian, seshalih apapun seorang sahabat, pasti
memiliki kekurangan, sebagaimana diri kita juga memiliki kekurangan.
Jangan sampai kekhilafan dan sedikit cela menyebabkan kita menjauhi
sahabat, karena tidak ada manusia yang tanpa cela. Alangkah indahnya
nasihat Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Barangsiapa mencari teman yang
tanpa cela, niscaya ia akan hidup sendiri tanpa teman.”
Persahabatan itu butuh untuk saling menasehati, menjaga adab yang menjadi sebab kelanggengan dan mudah memaafkan demi kelangsungan sebuah persaudaraan. Jangan berpikir akan mendapatkan seorang teman yang tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Jangan pula mudah terhasut oleh desas desus orang yang membuat retak persaudaraan. Abu Qilabah rahimahullah berkata,
“Jika
sampai kepadamu suatu berita yang tidak suka dari saudaramu, maka
carikanlah udzur/alasan, jika engkau tidak mendapatkan udzur/alasan
untuknya, maka katakanlah, mungkin saja dia memiliki alasan yang aku
tidak ketahui.” Sedangkan maksud mencarikan alasan adalah berprasangka
baik dengan mengedepankan kemungkinan positif. Semoga Allah memperbanyak
sahabat yang membantu kita untuk taat, dan kelak menjadi syafaat pada
hari Kiamat, aamiin.
Uztad Abu Umar Abdillah
Sumber,
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar