Memisahkan Shalat Sunnah Dan Shalat Wajib Dan Berpindah Tempat Antara Keduanya
Fatwa Ulama: Memisahkan Shalat Sunnah Dan Shalat Wajib Dan Berpindah Tempat Antara Keduanya

Fatwa IslamWeb.Net (Asuhan Syaikh Abdullah Al Faqih)
Mengenai menyambung shalat sunnah (setelah shalat fardhu), apakah perlu memisahkan antara keduanya dalam waktu yang lama, atau apakah boleh shalat sebelumnya (qabliyah) atau setelahnya (ba’diyah) secara langsung? Jazaakumullahu khairan.
Jawab:
Dianjurkan bagi orang yang shalat untuk memisahkan antara shalat fardhu dan shalat sunnah dengan perkataan (baik dengan ngobrol maupun dzikir –pent), atau dengan berpindah ke tempat lain. Dan berpindah tempat, yang paling baik ialah berpindah ke rumah untuk shalat sunnah, bila shalatnya ba’diyah. Atau shalat dulu di rumah, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat fardhu bila shalatnya qabliyah. Karena shalat yang paling utama bagi seorang laki-laki ialah di rumahnya, kecuali shalat fardhu. Sebagaimana shahih dari hadtis Umar bin Atha’ ibn Abi Al Khuwwar, bahwa Nafi’ ibn Jubair pernah mengutusnya untuk bertanya kepada As Sa’ib ibn Ukhti Namr, tentang sesuatu yang pernah dilihat Muawiyah ketika ia shalat. Beliau berkata,
فَقَالَ: نَعَمْ. صَلّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي
الْمَقْصُورَةِ. فَلمّا سَلّمَ الاْمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي. فَصَلّيْتُ.
فَلَمّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيّ فَقَالَ: لاَ تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ.
إِذَا صَلّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتّىَ تَكَلّمَ
أَوْ تَخْرُجَ. فَإِنّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَنَا
بِذَلِكَ. أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ بِصَلاَةٍ حَتّىَ نَتَكَلّمَ أَوْ
نَخْرُجَ
“Iya. Aku pernah shalat Jumat bersamanya di Al Maqshurah (sebuah
benteng yang besar). Ketika imam salam aku pun berdiri dari tempatku,
lalu shalat. Maka ketika aku masuk dan menemuinya, Muawiyah berkata,
“Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu. Bila engkau shalat Jumat janganlah
shalat sunnah hingga engkau berbicara atau telah keluar (dari masjid).
Karena sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam
memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat
(fardhu) dengan shalat (sunnah) hingga berbicara atau keluar“.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini
terdapat dalil ulama madzhab kami (yaitu Syafi’iyah) bahwasanya shalat
sunnah rawatib atau selainnya dianjurkan untuk dikerjakan dengan
berpindah tempat dari tempat shalat fardhu, dan tempat paling afdhal
ialah rumah, kemudian tempat lain di masjid atau selainnya untuk
memperbanyak tempat sujudnya. Hal ini dalam rangka memisahkan shalat
sunnah dengan shalat fardhu. Dan perkataan, ‘hingga engkau berbicara..’
adalah dalil bahwa pemisah diantara keduanya bisa dengan berbicara, akan
tetapi yang lebih afdhal ialah berpindah tempat sebagaimana telah kami
sebutkan. Wallahu a’lam.” –selesai nukilan dari Imam Nawawi.
Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ibn Majah dengan lafadz dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau berkata,
أيعجز أحدكم إذا صلى أن يتقدم أو يتأخر أو عن يمينه أو عن شماله
“Tidak mampukah salah seorang diantara kalian bila selesai shalat ia berpindah ke depan, belakang, kanan, atau kirinya”. Yaitu shalat sunnah (ba’diyah atau qabliyah).
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata, “Termasuk
diantara sunnah ialah memisahkan antara shalat fardhu dan shalat sunnah
ketika shalat Jumat atau selainnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits
shahih bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam melarang
menyambung shalat dengan shalat lain hingga terpisah diantara keduanya
dengan berdiri maupun berbicara. Maka janganlah mengerjakan apa yang
dikerjakan oleh banyak orang yang menyambung salam dengan dua rakaat
sunnah. Karena sesungguhnya hal tersebut melanggar larangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam.
Terdapat hikmah dalam sunnah ini yaitu adanya pembeda antara shalat
fardhu dan selain yang fardhu, sebagaimana dibedakan pula antara ibadah
dengan selain ibadah. Misalnya dalam anjuran menyegerakan berbuka puasa,
dan mengakhirkan sahur, anjuran makan di hari Idul Fitri sebelum shalat
‘Ied, kemudian juga larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum
Ramadhan (dalam rangka berhati-hati, ikhtiyath –pent), semua
ini adalah dalam rangka membedakan antara apa yang diperintahkan dalam
syariat puasa dan selainnya, dan pembeda antara ibadah dengan selainnya.
Seperti itu pulalah dibedakan antara shalat Jumat yang Allah wajibkan
dengan selainnya” –selesai nukilan dari Ibn Taimiyyah.
Maka illat-nya (sebab pensyariatan) ialah sebagai pembeda
antara yang fardhu dengan yang sunnah, atau pembeda antara ibadah dengan
selain ibadah. Illat yang lain dalam anjuran memisahkan antara
shalat sunnah dengan fardhu, atau antara shalat fardhu dengan shalat
fardhu lain, shalat sunnah dengan shalat sunnah lain, ialah agar
memperbanyak tempat sujud. Karena tempat-tempat tersebut kelak akan
menjadi saksi di hari kiamat, sebagaimana telah berlalu penjelasan dari
Imam Nawawi.
Ar Ramli berkata dalam Nihayatul Muhtaj, “Dan disunnahkan
untuk berpindah tempat untuk shalat sunnah atau fardhu dari tempat asal
shalat fardhu atau shalat sunnah ke tempat lain, dalam rangka
memperbanyak tempat sujud karena ia akan menjadi saksi (di hari kiamat),
dan juga dalam rangka menghidupkan suatu tempat untuk ibadah, dan
apabila ia tidak berpindah tempat hendaklah memisahkannya dengan
berbicara”.
Majduddin Abul Barakaat ibn Taimiyyah dalam Muntaqa Al Akhbar berkata, “Bab Dianjurkannya Shalat Tathawwu’ di Tempat Selain Shalat Wajib” (Kemudian beliau membawakan hadits berikut –pent)
Dari Al Mughirah ibn Syu’bah beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata,
Dari Al Mughirah ibn Syu’bah beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata,
لا يصلي الإمام في مقامه الذي صلى فيه المكتوبة حتى يتنحى عنه
“Janganlah seorang imam shalat di tempat ia shalat wajib hingga ia berpindah tempat” (HR Ibn Majah dan Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam beliau bersabda,
أيعجز أحدكم إذا صلى أن يتقدم أو يتأخر أو عن يمينه أو عن شماله
“Tidak mampukah salah seorang diantara kalian apabila hendak shalat sunnah, berpindah ke depan, belakang, kanan, atau kirinya” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah).
Asy Syaukani dalam Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar berkata,
“Kedua hadits ini dalil disyariatkannya berpindah tempat untuk shalat
sunnah, dari tempat dikerjakannya shalat fardhu. Hal ini berlaku bagi
imam berdasarkan nash hadits pertama dan keumuman hadits kedua, berlaku
juga bagi yang shalat sendirian berdasarkan keumuman hadits kedua dan
diqiyaskan dengan imam. Adapun illat hal ini adalah untuk
memperbanyak tempat ibadah sebagaimana disebutkan oleh Al Bukhari dan Al
Baghawi, karena tempat sujud kelak menjadi saksi di hari kiamat.
Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya” (QS Az Zalzalah : 4).
Yaitu akan dikabarkan berbagai amal yang dikerjakan di atasnya, dan disebutkan pula dalam tafsir firman Allah Ta’ala,
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْض
“Maka langit dan bumi pun tidak menangisi mereka” (QS Ad Dukhan : 29).
(Yaitu tafsirnya ialah) Sesungguhnya seorang mukmin apabila
meninggal, tempat shalatnya di bumi akan menangis dan amalnya akan
terangkat ke langit. Inilah illat yang juga menjadi konsekuensi atas disyariatkannya berpindah dari tempat shalat fardhu ke shalat nafilah
(sunnah). Begitu pula berpindah tempat dalam tiap shalat yang dimulai
shalat sunnah sebelumnya. Apabila tidak berpindah maka dianjurkan untuk
memisah dengan perkataan, berdasarkan hadits larangan untuk menyambung
shalat dengan shalat lain hingga berbicara atau keluar dari tempat
tersebut yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Dawud –selesai
nukilan dari Nailul Authar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum berpindah tempat adalah terlarang, karena dhaif-nya hadits yang menjadi dalil hal tersebut. Al Imam Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Bab Tetapnya Imam di Tempat Shalatnya Setelah Salam” lalu beliau membawakan hadits, “Adam berkata kepada kami, menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ayub dari Nafi’ ia berkata,
كان ابن عمر يصلي في مكانه الذي صلى فيه الفريضة وفعله القاسم
“Adalah Ibn Umar shalat sunnah di tempat ia shalat fardhu, dan Al Qasim mengerjakan seperti itu”
dan disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’,
لا يتطوع الإمام في مكانه، ولم يصح
“Janganlah seorang imam mengerjakan shalat tathawwu’ di tempatnya shalat (fardhu)”
namun atsar ini tidaklah shahih –selesai nukilan dari Imam Bukhari.
Diriwayatkan dari Ibn Abi Syaibah dari Abdullah ibn Umar beliau berkata,
رأيت القاسم وسالماً -تابعيان- يصلينان الفريضة ثم يتطوعان في مكانهما
“Aku melihat Al Qasim (cucu dari Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu anhu) dan Salman –keduanya tabiin, mereka shalat fardhu kemudian shalat sunnah di tempat yang sama”.
Adapun pendapat pertama ialah yang rajih, berdasarkan kuatnya dalil-dalilnya sebagaimana yang telah kami teliti. Wallahu a’lam.
—
Sumber: fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=22946
Penerjemah: Yhouga Pratama Ariesta
Artikel Muslim.Or.Id
jangan lupa like https://www.facebook.com/pages/Susah-Senang-Bersama-Sahabat-Islam/1493661804179558 ya ^_^
SMS/Call. 089.671.454.046
WA 089.636.260.351
Pin BB 7CB1A2A1
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar